Rabu, 01 Juni 2011

LAMPU MERAH


Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Jack.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”
Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.
“Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan  berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. dari Bob.
Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.
dari berbagai sumber
dari Sponsor kami
COMPUTERKU.com Percayakan belanja Gadget, Computer, dan Accessories computer lainnya di COMPUTERKU.com, situs penjualan computer ini adalah situs penjualan Computer dari PT. Scalaludia, yang berarti satu group dengan situs SCALAMEDIA.NET INI
Lampu merah


Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama.
Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera.
Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja.

“Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Jack.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”
Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.
“Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan  berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. dari Bob.
Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

Cerita Si Kabayan Dan Abu Nawas


Di suatu tempat Kabayan bertemu Abu Nawas untuk membahas masalah matematika.
Kabayan : ?Abah Abu, sebenarnya saya ini bukan ahli matematika nih. Cuma, saya diundang berseminar matematika di sini. Menurut Abah Abu, saya harus bagaimana nih??
Abu Nawas : ?Kang Kabayan, memangnya materi apa yang akan disampaikan pada seminar kali ini??
Kabayan : ?Sebenarnya sih sederhana saja, panitia meminta saya menyampaikan tentang persamaan. Cuma mereka minta agar persamaan itu tak dibahas secara matematis, tapi dengan cara-cara yang sederhana (kalau bisa sih lucu) dan mudah dipahami oleh orang-orang biasa. Makanya saya ikut seminar ini. Kalau diminta membahas secara matematis sih, wah saya tak sanggup deh….?
Abu Nawas : ?Oh begitu ya…? Coba nih saya tanya, kira-kira Kang Kabayan menyelesaikan persamaan (8-x)/3 + 2 = 4 ini bagaimana??
Kabayan : ?Secara matematis yang tepat sih, saya tak bisa menjelaskannya. Mungkin saya akan ditertawakan oleh para matematikawan-matematikawan itu. Saya bisanya dengan kata-kata saja…, dengan cara saya, seperti yang diminta panitia.?
Abu Nawas: ?Memangnya bagaimana? Saya juga tak mengerti bila diminta menjelaskan secara matematis. Soal tadi itu juga saya dapatkan dari kawan saya yang bertanya ke saya, dan saya tak bisa menjelaskannya secara matematis. Coba deh, menurutmu bagaimana cara penyelesaian persamaan tersebut??
Kabayan : ?Ah, Abah Abu merendah saja….?
Abu Nawas: ?Serius! Saya benar-benar tidak bisa.? (kali ini tampak wajah Abu Nawas terlihat serius)
Kabayan : ?Baiklah kalau begitu. Begini menurut saya, persamaan itu saya ibaratkan sebuah timbangan dengan ?dua tangan?. Tanda sama dengan berarti seimbang.? Abu Nawas menyimak Kabayan dengan sungguh-sungguh.
Kabayan: ?Berarti, untuk menyelesaikan persamaan tersebut ((8-x)/3 + 2 = 4), mudahnya begini saja. Saya ibaratkan 4 itu empat buah semangka berukuran sama yang terletak di sebelah kanan timbangan. Dan di sebelah kiri, (8-x)/3 + 2 itu berarti banyaknya semangka yang saya sendiri belum tahu berapa banyaknya ditambah dua semangka.? (Yang dimaksud Kabayan dengan banyaknya semangka yang ia belum tahu berapa banyaknya adalah (8-x)/3 ).
Abu Nawas: ?Ya… ya …, terus??
Kabayan: ?Nah, karena di sebelah kiri sudah jelas ada 2 semangka dan sebelah kanan ada 4 semangka, berarti bagian yang saya belum tahu ((8-x)/3 ) itu sebenarnya berjumlah 2 buah semangka. Jadinya, saya bisa tulis (8-x)/3 = 2.? Kabayan tampak terdiam beberapa saat, memperhatikan persamaan baru ((8-x)/3 = 2) yang diperolehnya. Kemudian, segera setelah itu ia melanjutkan penjelasannya….
Kabayan: ?(8-x)/3 = 2, artinya banyaknya suatu semangka (8-x) bila dibagi 3 sama saja dengan 2. Berarti banyaknya semangka tersebut pasti adalah 6. Makanya berarti 8-x = 6.? Belum sempat melanjutkan penjelasannya, Abu Nawas segera berseru dan mengatakan begini.
Abu Nawas: ?Saya mengerti, saya mengerti…. Jadinya, karena 8-x = 6, artinya delapan semangka dikurangi berapa semangka (nilai x) hasilnya 6 kan? Pasti banyaknya semangka itu (di persamaan ini diberi symbol x) adalah 2, benar kan??
Kabayan: ?Ya benar…. Tuh kan, Abah Abu cuma merendah saja….?
Abu Nawas: ?Ah *engga* juga, kamu benar-benar bagus penjelasannya. Makanya saya gampang mengerti.?
Abu Nawas tertawa gembira, karena ia mengerti penjelasan Kabayan. Kemudian, ia pun bercerita pada Kabayan bahwa ia diundang ke seminar ini pun bukan karena ia mengerti matematika. Tapi, ia diminta panitia untuk menjelaskan sastra (bahasa) terkait dengan matematika. Karena katanya, Matematika itu adalah bahasa juga, tapi berupa bahasa symbol.
Abu Nawas: ?Sekarang saya jadi mengerti persamaan itu apa. Ini memudahkan saya untuk bercerita tentang matematika sebagai bahasa symbol nanti siang?, begitu kata Abu Nawas dengan nada optimis.
Kabayan: ?Sekarang, gantian saya yang mau bertanya nih sama Abah Abu….?
Abu Nawas: ?Ah kang Kabayan, jangan nanya yang susah-susah ya…??
Kabayan: ?Justru ini pertanyaan susah yang belum bisa saya jawab. Begini ceritanya, seminggu yang lalu presiden memberi potongan hukuman bagi para tahanan. Bahwa semua tahanan diberi potongan berupa setengah dari masa hukuman yang harus dijalani tiap tahanan tersebut. Untuk tahanan yang dihukum 10 tahun, karena dipotong setengahnya, jadinya ia cuma tinggal menjalani hukuman 5 tahun saja. Bila seorang tahanan dihukum 20 tahun, karena dipotong setengahnya jadinya tinggal 10 tahun saja. Begitu seterusnya. Ketetapan ini sudah diputuskan oleh presiden dan tak bisa diubah!?
Abu Nawas: ?Terus, masalahnya apa??
Kabayan: ?Ini sebenarnya masalah matematika juga, cuma matematikawan-matematikawan di negeri saya tak ada yang sanggup menjawabnya. Masalahnya begini, karena ada tahanan yang dihukum seumur hidup (sampai sang tahanan tersebut meninggal), artinya kan harus ditentukan berapa lama sisanya ia akan dihukum? Padahal tak ada yang tahu kapan seseorang itu meninggal. Tak ada yang tahu berapa lama umur seseorang itu. Masalah ini jadi heboh di seluruh Indonesia dikarenakan presiden dengan ceroboh menetapkan kebijakannya tersebut. Belum ada yang bisa memecahkannya. Paranormal seperti dukun, tukang ramal nasib, tukang tenung, mentalist (semisal Dedi Corbuzier) dan sebangsanya itu tak bisa memecahkannya. Cendekiawan yang terkenal cerdik pun semisal Gus Dur dibikin repot karenanya (padahal Gus Dur terkenal dengan perkataannya, ?Gitu aja kok repot.? Tapi, kali ini benar-benar ia repot dibuatnya). Para matematikawan pun yang pintar-pintar itu angkat tangan mencari solusinya. Dan ini menjadi isu nasional. Jadi, bagaimana Abah Abu menyelesaikannya??
Abu Nawas: ?Ooooh begitu ya? Berat juga masalahnya kalau begitu. Tapi, beri saya waktu sepuluh menit saja, saya habiskan dulu ya makanan saya….? Kabayan pun mempersilakan Abu Nawas menghabiskan makanannya. Sambil makan, tampak Abu Nawas berfikir dengan serius. Dan, segera setelah habis makanannya, tampak cerialah wajah Abu Nawas, pertanda ia punya pemecahan masalah tersebut.
Abu Nawas: ?Hahaa…. Menurut saya begini saja, masalah ini bisa diselesaikan dengan konsep persamaan yang telah kamu jelaskan tadi….?
Kabayan: ?Oh ya…? Bagaimana??
Abu Nawas: ?Karena persamaan itu menurutmu berarti seimbang, atau keseimbangan, masalah pemotongan masa hukuman tersebut ya mudah saja diselesaikan. Begini caranya, supaya orang yang dihukum seumur hidup itu dapat potongan hukuman setengah masa hidupnya, cara menghukumnya begini saja. Sehari ia ditahan, sehari ia dibebaskan, begitu seterusnya hingga ia meninggal. Seimbang bukan, seperti persamaan kan??
Kabayan: ?Subhanallah, Alhamdulillah… benar-benar penyelesaian yang sangat cantik, dan sesuai konsep persamaan. Luar biasa, luuuuuuuuuuuuar biasa! Saya bersyukur bisa bertemu Abah Abu di tempat ini. Terimakasih ya Abah Abu….?